Oleh: Made Astawan
Orang-orang
yang bijaksana sering mengatakan bahwa "kesehatan adalah harta yang
paling berharga dalam hidup ini". Sehat dan bugar adalah dua kunci yang
sebaiknya dimiliki oleh setiap orang agar hidup ini menjadi lebih
bermakna. Untuk mewujudkannya antara lain dapat kita lakukan melalui
pengaturan makanan.
Dalam
kehidupan modern ini, filosofi makan telah mengalami pergeseran, di
mana makan bukanlah sekadar untuk kenyang, tetapi yang lebih utama
adalah untuk mencapai tingkat kesehatan dan kebugaran yang optimal.
Fungsi
pangan yang utama bagi manusia adalah untuk memenuhi kebutuhan zat-zat
gizi tubuh, sesuai dengan jenis kelamin, usia, aktivitas fisik, dan
bobot tubuh. Fungsi pangan yang demikian dikenal dengan istilah fungsi
primer (primary function).
Selain memiliki fungsi primer, bahan pangan sebaiknya juga memenuhi fungsi sekunder (secondary function),
yaitu memiliki penampakan dan cita rasa yang baik. Sebab, bagaimanapun
tingginya kandungan gizi suatu bahan pangan akan ditolak oleh konsumen
bila penampakan dan cita rasanya tidak menarik dan memenuhi selera
konsumennya. Itulah sebabnya kemasan dan cita rasa menjadi faktor
penting dalam menentukan apakah suatu bahan pangan akan diterima atau
tidak oleh masyarakat konsumen.
Seiring
dengan makin meningkatnya kesadaran masyarakat akan pentingnya hidup
sehat, maka tuntutan konsumen terhadap bahan pangan juga kian bergeser.
Bahan pangan yang kini mulai banyak diminati konsumen bukan saja yang
mempunyai komposisi gizi yang baik serta penampakan dan cita rasa yang
menarik, tetapi juga harus memiliki fungsi fisiologis tertentu bagi
tubuh.
Fungsi yang demikian dikenal sebagai fungsi tertier (tertiary function).
Saat ini banyak dipopulerkan bahan pangan yang mempunyai fungsi
fisiologis tertentu di dalam tubuh, misalnya untuk menurunkan tekanan
darah, menurunkan kadar kolesterol, menurunkan kadar gula darah,
meningkatkan penyerapan kalsium, dan lain-lain. Semakin tinggi tingkat
kemakmuran dan kesadaran seseorang terhadap kesehatan, maka tuntutan
terhadap ketiga fungsi bahan pangan tersebut akan semakin tinggi pula.
Apa itu pangan fungsional?
Dasar
pertimbangan konsumen di negara-negara maju dalam memilih bahan pangan,
bukan hanya bertumpu pada kandungan gizi dan kelezatannya, tetapi juga
pengaruhnya terhadap kesehatan tubuhnya (Goldberg, 1994). Saat ini
pangan telah diandalkan sebagai pemelihara kesehatan dan kebugaran
tubuh. Bahkan bila dimungkinkan, pangan harus dapat menyembuhkan atau
menghilangkan efek negatif dari penyakit tertentu.
Kenyataan
tersebut menuntut suatu bahan pangan tidak lagi sekadar memenuhi
kebutuhan dasar tubuh (yaitu bergizi dan lezat), tetapi juga dapat
bersifat fungsional. Dari sinilah lahir konsep pangan fungsional (fungtional foods), yang akhir-akhir ini sangat populer di kalangan masyarakat dunia.
Kepopuleran
tersebut ditunjang oleh suatu keyakinan bahwa di dalam pangan
fungsional terkandung gizi-gizi dan zat-zat non gizi yang sangat penting
khasiatnya untuk kesehatan dan kebugaran tubuh.
Fenomena
pangan fungsional telah melahirkan paradigma baru bagi perkembangan
ilmu dan teknologi pangan, yaitu dilakukannya berbagai modifikasi produk
olahan pangan menuju sifat fungsional. Saat ini, di Indonesia telah
banyak dijumpai produk pangan fungsional, baik yang diproduksi di dalam
negeri maupun impor.
Sejak
tahun 1984, Pemerintah Jepang telah menyusun suatu alternatif
pengembangan pangan fungsional dengan tujuan untuk memperbaiki
fungsi-fungsi fisiologis, agar dapat melindungi tubuh dari penyakit,
khususnya penyakit degeneratif seperti jantung koroner, hipertensi,
diabetes, osteoporosis, dan kanker. Diharapkan dengan pengembangan
pangan fungsional dapat meningkatkan derajat kesehatan serta menekan
biaya medis bagi masyarakat Jepang.
Sampai
saat ini belum ada definisi pangan fungsional yang disepakati secara
universal. The International Food Information (IFIC) mendefinisikan
pangan fungsional sebagai pangan yang memberikan manfaat kesehatan di
luar zat-zat dasar.
Menurut
konsensus pada The First International Conference on East-West
Perspective on Functional Foods tahun 1996, pangan fungsional adalah
pangan yang karena kandungan komponen aktifnya dapat memberikan manfaat
bagi kesehatan, di luar manfaat yang diberikan oleh zat-zat gizi yang
terkandung di dalamnya.
Definisi
pangan fungsional menurut Badan POM adalah pangan yang secara alamiah
maupun telah melalui proses, mengandung satu atau lebih senyawa yang
berdasarkan kajian-kajian ilmiah dianggap mempunyai fungsi-fungsi
fisiologis tertentu yang bermanfaat bagi kesehatan. Serta dikonsumsi
sebagaimana layaknya makanan atau minuman, mempunyai karakteristik
sensori berupa penampakan, warna, tekstur dan cita rasa yang dapat
diterima oleh konsumen. Selain tidak memberikan kontraindikasi dan tidak
memberi efek samping pada jumlah penggunaan yang dianjurkan terhadap
metabolisme zat gizi lainnya.
Golongan
senyawa yang dianggap mempunyai fungsi-fungsi fisiologis tertentu di
dalam pangan fungsional adalah senyawa-senyawa alami di luar zat gizi
dasar yang terkandung dalam pangan yang bersangkutan, yaitu: (1) serat
pangan (deitary fiber), (2) Oligosakarida, (3) gula alkohol (polyol),
(4) asam lemak tidak jenuh jamak (polyunsaturated fatty acids = PUFA),
(5) peptida dan protei tertentu, (6) glikosida dan isoprenoid, (7)
polifenol dan isoflavon, (8) kolin dan lesitin, (9) bakteri asam laktat,
(10) phytosterol, dan (11) vitamin dan mineral tertentu.
Meskipun
mengandung senyawa yang bermanfaat bagi kesehatan, pangan fungsional
tidak berbentuk kapsul, tablet, atau bubuk yang berasal dari senyawa
alami (Badan POM, 2001). Pangan fungsional dibedakan dari suplemen
makanan dan obat berdasarkan penampakan dan pengaruhnya terhadap
kesehatan. Kalau obat fungsinya terhadap penyakit bersifat kuratif, maka
pangan fungsional hanya bersifat membantu pencegahan suatu penyakit.
Persyaratan pangan fungsional
Jepang
merupakan negara yang paling tegas dalam memberi batasan mengenai
pangan fungsional, paling maju dalam perkembangan industrinya. Para
ilmuwan Jepang menekankan pada tiga fungsi dasar pangan fungsional,
yaitu: (1) sensory (warna dan penampilannya yang menarik dan cita
rasanya yang enak), (2) nutritional (bernilai gizi tinggi), dan (3)
physiological (memberikan pengaruh fisiologis yang menguntungkan bagi
tubuh).
Beberapa
fungsi fisiologis yang diharapkan dari pangan fungsional antara lain
adalah: (1) pencegahan dari timbulnya penyakit, (2) meningkatnya daya
tahan tubuh, (3) regulasi kondisi ritme fisik tubuh, (4) memperlambat
proses penuaan, dan (5) menyehatkan kembali (recovery).
Menurut
para ilmuwan Jepang, beberapa persyaratan yang harus dimiliki oleh
suatu produk agar dapat dikatakan sebagai pangan fungsional adalah: (1)
Harus merupakan produk pangan (bukan berbentuk kapsul, tablet, atau
bubuk) yang berasal dari bahan (ingredien) alami, (2) Dapat dan layak
dikonsumsi sebagai bagian dari diet atau menu sehari-hari, (3) Mempunyai
fungsi tertentu pada saat dicerna, serta dapat memberikan peran dalam
proses tubuh tertentu, seperti: memperkuat mekanisme pertahanan tubuh,
mencegah penyakit tertentu, membantu mengembalikan kondisi tubuh setelah
sakit tertentu, menjaga kondisi fisik dan mental, serta memperlambat
proses penuaan.
Dari
konsep yang telah dikembangkan oleh para ilmuwan, jelaslah bahwa pangan
fungsional tidak sama dengan food supplement atau obat. Pangan
fungsional dapat dikonsumsi tanpa dosis tertentu, dapat dinikmati
sebagaimana makanan pada umumnya, serta lezat dan bergizi.
Peranan
dari makanan fungsional bagi tubuh semata-mata bertumpu kepada komponen
gizi dan non gizi yang terkandung di dalamnya. Komponen-komponen
tersebut umumnya berupa komponen aktif yang keberadaannya dalam makanan
bisa terjadi secara alami, akibat penambahan dari luar, atau karena
proses pengolahan (akibat reaksi-reaksi kimia tertentu atau aktivitas
mikroorganisme).
Contoh-contoh
komponen aktif yang terdapat secara alami dalam bahan pangan adalah:
(1) nerodiol dan linalool pada teh hijau yang berperan untuk mencegah
karies gigi dan mencegah kanker; (2) komponen sulfur pada
bawang-bawangan yang berfungsi untuk mencegah agregasi platelet dan
menurunkan kadar kolesterol; (3) kurkumin pada rimpang kunyit dan
l-tumeron pada rimpang temulawak yang berkhasiat untuk pengobatan
berbagai penyakit; (4) daidzein dan genestein pada tempe yang berperan
untuk menurunkan kolesterol dan mencegah kanker; (5) serat pangan
(dietary fiber) dari berbagai sayuran, buah-buahan, serealia, dan
kacang-kacangan yang berperan untuk pencegahan timbulnya berbagai
penyakit yang berkaitan dengan proses pencernaan; serta (6) berbagai
komponen volatil yang terdapat pada bunga melati (jasmin), chrysant dan
chamomile yang aromanya sering digunakan sebagai aromaterapi.
Contoh
komponen zat gizi yang sering ditambahkan ke dalam bahan makanan
adalah: (1) vitamin A, vitamin E, beta-karoten, flavonoid, selenium, dan
seng (zinc) yang telah diketahui peranannya sebagai antioksidan untuk
mengatasi serangan radikal bebas yang menjurus kepada timbulnya berbagai
penyakit kanker; (2) asam lemak omega-3 dari minyak ikan laut untuk
menurunkan kolesterol dan meningkatkan kecerdasan otak, terutama pada
bayi dan anak balita; (3) kalsium untuk menjaga kesehatan tulang dan
gigi, mencegah osteoporosis (kerapuhan tulang) dan tekanan darah tinggi;
(4) asam folat untuk mencegah anemia dan kerusakan syarat; (5) zat besi
untuk mencegah anemia gizi; (6) iodium untuk mencegah gondok dan
kretinisme (kekerdilan); (7) oligosakarida untuk membantu pertumbuhan
mikroflora yang dibutuhkan usus (bifido bacteria).
Contoh
komponen aktif yang keberadaannya dalam bahan pangan akibat proses
pengolahan adalah zat-zat tertentu pada produk fermentasi susu (yoghurt,
yakult, kefir), fermentasi kedelai, dan lain-lain.
Pangan tradisional yang fungsional
Pangan
fungsional dapat berupa makanan dan minuman yang berasal dari hewani
atau nabati. Walaupun konsep pangan fungsional baru populer beberapa
tahun belakangan ini, tetapi sesungguhnya banyak jenis makanan
tradisional yang memenuhi persyaratan untuk disebut sebagai pangan
fungsional.
Contoh
pangan tradisional Indonesia yang memenuhi persyaratan pangan
fungsional adalah: minuman beras kencur, temulawak, kunyit-asam, serbat,
dadih (fermentasi susu khas Sumatera Barat), dali (fermentasi susu
kerbau khas Sumatera Utara), sekoteng atau bandrek, tempe, tape, jamu,
dan lain-lain. Contoh makanan tradisional mancanegara yang dapat
dikategorikan sebagai makanan fungsional adalah: yoghurt, kefir,
koumiss, dan lain-lain.
Beberapa
contoh pangan fungsional modern adalah: (1) pangan tanpa lemak, rendah
kolesterol dan rendah trigliserida; (2) breakfast cereals dan biskuit
yang diperkaya serat pangan; (3) mi instan yang diperkaya dengan
berbagai vitamin dan mineral; (4) permen yang mengandung zat besi,
vitamin, dan fruktooligosakarida; (5) pasta yang diperkaya dietary
fiber; (6) sosis yang diperkaya dengan oligosakarida, serat atau kalsium
kulit telur; (7) minuman yang mengandung suplemen dietary fiber,
mineral dan vitamin; (8) cola rendah kalori dan cola tanpa kafein; (9)
sport drink yang diperkaya protein; (1) minuman isotonic dengan
keseimbangan mineral; (11) minuman untuk pencernaan; (12) minuman
pemulih energi secara kilat; (13) teh yang diperkaya dengan kalsium, dan
lain-lain.
Silakan dikonsumsi
Sesuai
dengan definisinya bahwa pangan fungsional dapat dikonsumsi tanpa dosis
tertentu, maka melibatkan pangan fungsional dalam menu sehari-hari
adalah tindakan yang sangat baik dan tepat dari segi gizi. Konsumsi
pangan fungsional dapat dilakukan oleh semua kelompok umur (kecuali
bayi).
Diversifikasi
konsumsi pangan fungsional perlu diperkenalkan sedini mungkin sejak
masa kanak-kanak, agar setelah dewasa memperoleh manfaat dan khasiat
yang optimal, yaitu sehat dan bugar, produktif, mandiri, serta berumur
panjang.
Di
masa mendatang kehadiran pangan fungsional atau yang diklaim sebagai
pangan fungsional akan semakin semarak di Tanah Air kita ini. Sebagai
konsumen yang bijak dan sadar akan pentingnya gizi bagi kesehatan, maka
selayaknya kita memperhitungkan betul manfaat dari setiap rupiah yang
kita keluarkan untuk membeli bahan makanan tersebut.
Kita
harus terhindar dari perbuatan membeli makanan yang semata-mata
didasari atas pertimbangan selera dan prestise, tetapi tidak berarti
bagi pencapaian tingkat kesehatan yang optimal. Membaca label merupakan
tindakan yang harus kita lakukan sebelum memutuskan untuk membeli suatu
produk.
Adapun
keterangan yang wajib dicantumkan pada label adalah: nama pangan,
berat/isi bersih, nama dan alamat perusahaan, daftar bahan yang
digunakan, nomor pendaftaran, waktu kedaluwarsa, kode produksi,
informasi nilai gizi, keterangan tentang peruntukan (jika ada), cara
penggunaan (jika ada), keterangan lain jika perlu diketahui (termasuk
peringatan), dan penyimpanan. (Sumber mulia-sejahtera.com, ilustrasi pantonanews.com)